Rabu, 18 Agustus 2010

Minyak Jarak Murni

Dalam situasi krisis minyak bumi ini, Dr Ir Robert Manurung MEng (50), Lektor Kepala Departemen Teknik Kimia Institut Teknologi Bandung (ITB), tetap konsisten meneliti pirolisa biomassa-usaha mencairkan bahan bakar padat (biomassa) secara termal untuk menghasilkan bahan bakar cair, gas yang bisa terbakar, dan padatan berupa arang-seperti cahaya terang di ujung terowongan. Ketekunannya berangkat dari pemikiran bagaimana membuat potensi alam Indonesia menjadi berkah yang berguna untuk masyarakatnya.

Penelitiannya pada jarak pagar (Jatropha curcas L) memperlihatkan secara teknologi sederhana dan ekonomis memungkinkan mengutip minyak jarak untuk menggantikan solar.

Penelitian minyak jarak dilakukan laki-laki kelahiran Onan Ganjang, Tapanuli Utara, Sumatera Utara, itu sejak tahun 1997 bersama teman-temannya di ITB dengan fokus pengutipan (ekstraksi) minyak kelapa dan jarak. Rancangan ekstraksi itu sempat dipamerkan tahun 1998 di Istana Negara. Pada periode itu, Manurung yang menyelesaikan S-1-nya di Teknik Kimia ITB, S-2 di Technology Asian Institute of Technology (Bangkok) dan S-3 di Rijksuniversiteit Groningen (RuG, Belanda) ini juga sedang mendalami struktur berbagai minyak tumbuhan. Sayangnya, dia gagal mendapat dana Riset Unggulan Terpadu karena dianggap tidak relevan. Yang tertarik membiayainya justru RuG, Belanda.

“Penelitian yang diperlukan bukan lagi pada minyak jaraknya karena minyaknya dapat digunakan langsung sebagai bio-diesel tanpa campuran metanol atau bahan lain, tetapi bagaimana mengutip minyak itu seefisein mungkin. Yang lebih penting lagi, bagaimana memanfaatkan limbah padatannya,” papar Manurung yang tengah meneliti pengutipan minyak dari limbah jarak untuk mendapat pengganti minyak tanah, bekerja sama dengan Badan Penelitian dan Pengkajian Teknologi.

Ketertarikan Manurung pada pirolisa dipicu pengalamannya di kampung. Sampai usia 14 tahun sebelum melanjutkan pendidikan SMA ke Bandung tahun 1970, Manurung dan saudara-saudara lelakinya harus mencari kayu bakar untuk digunakan ibunya memasak. “Sekembali dari luar negeri di kampung kami BBM bukan lagi barang mewah, tetapi di berbagai pelosok Indonesia apa yang saya rasakan 30-40 tahun lalu di kampung masih mereka alami. Padahal, saya sudah menjelajah berbagai negeri turut mengembangkan teknologi limbah pertanian menjadi energi,” kata ayah Christy Sondang Nauli (8), Efraim Partogi Nahotasi (6), dan Gamaliel Adaran Nadiuarihon (4) dari pernikahannya dengan Desi Indira Chaer yang juga lulusan Teknik Kimia ITB.

Sejak belum lulus dari ITB, pada tahun 1977 Manurung sudah dilibatkan Prof Dr Saswinadi Samojo dalam penelitian bahan bakar terbarukan yaitu pirolisa sekam padi. Pada tahun 1976, ITB berkerja sama dengan TH Twente dan TH Delft, (keduanya dari Belanda), dalam penelitian energi baru dari biomassa melalui proses gasifikasi.

Dalam kerja sama TH Twente-ITB, Prof Dr Ir AACM Beenackers tahun 1982 mengunjungi ITB untuk menjajagi pengembangan gasifikasi sekam padi skala kecil. Dalam sebuah desertasi doktor di Jerman dikatakan, karena sifat fisik sekam padi dan kandungan silikanya yang tinggi tidak mungkin gasifikasi dibuat dalam skala kecil. Di depan tamunya Manurung mengambil potongan seng. Dengan meniru tungku sekam padi di pedesaan Yogyakarta, tiga jam kemudian alat yang dimodifikasi dengan menambah penyalur udara dan kompresor serta berisolasi itu siap. Manurung mendapat biaya penelitian doktor dan dia dipromosikan di Rijksuniversiteit Groningen pada tahun 1993.

“Promosi itu menjadi kenangan indah pertama sebagai peneliti karena yang saya katakan 10 tahun sebelumnya terbukti kebenarannya secara ilmiah dalam desertasi doktor saya,” papar Manurung yang langsung mendapat kesempatan melanjutkan penelitian post-doctoral selama setahun di Massachusetts Institute of Technology (MIT) di AS. Sepulang dari MIT dia terobsesi pada penelitian pirolisis minyak tumbuhan karena teknologi saat itu memungkinkan pengutipan sampai 70 persen berat biomassa serta penggunaannya menggantikan BBM.

Karena itu ketika Mitsubishi Research Institute (Miri) dan New Energy and Industrial Technology Development Organization (NEDO) dari Jepang mengajak bekerja sama, Manurung menekankan penggunaan langsung minyak jarak tanpa campuran bahan lain dan pengolahan lebih lanjut limbahnya. Tahun depan, dia optimis teknologi pengutipan minyak jarak ini dapat disebarkan ke masyarakat.

Jarak dipilih karena bisa tumbuh di tanah tandus. Kerja sama dengan Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur dan Nusa Tenggara Barat, serta sejumlah pesantren di Jawa Barat memperlihatkan produktivitas buah sampai 30 kg/pohon/tahun sehingga keekonomisan juga bisa dicapai.

“Menariknya, ada rekan yang tidak percaya, ada pesimis, tetapi ada juga yang mengatakan “nothing new”. Nothing is perfect di dunia. Karena itu perlu penelitian dan pengembangan lebih jauh,” kata staf ahli bidang keahlian energi baru Himpunan Kerukunan Tani Indonesia ini.

Penggunaan jarak sebagai substitusi solar sangat dimungkinkan. Bahkan, tidak seperti yang selama ini dinyatakan Pemerintah, yaitu mencampur dengan solar, sesungguhnya minyak jarak murni pun bisa dimanfaatkan untuk menggerakkan mesin kendaraan. Percobaan ini telah dilakukan melalui Jatropha Expedition 2006 yang melewati rute Atambua, Bali dan berakhir di Jakarta.

Menurut Manurung, penggunaan minyak jarak 100 persen ini sangat dimungkinkan. Bahkan dalam perjalanan, tim ekspedisi Jatropa 2006 yang pada Senin (17/7/2006) sampai di Bali, mendapat sambutan yang luar biasa dari masyarakat. Dia mengatakan, tanaman jarak ini selain buahnya bisa menghasilkan minyak murni yang bisa digunakan langsung sebagai bahan bakar kendaraan, ampasnya pun bisa dimanfaatkan sebagai pupuk. Persentasenya mencapai 40 persen untuk minyak dan 60 persen untuk pupuk.

B. Prabowo, anggota tim ekspedisi yang bertugas mengkomparasikan data menambahkan bahwa dari hasil pengukuran yang dilakukan pada tiga mobil yang dijadikan percobaan, mobil berbahan bakar minyak jarak murni menghabiskan 29 liter untuk jangkauan 274 kilometer. Dia mengatakan jika ditarik perbandingan pemakaian angkanya mencapai 1 : 9,4. Sementara itu mobil yang menggunakan campuran dengan komposisi 50 persen solar dan 50 persen minyak jarak diperoleh hasil penggunaan minyak jarak sebanyak 31,5 liter. Sedangkan untuk mobil berbahan 100 persen solar dengan jangkauan tempuh 301 kilometer, solar yang dihabiskan sekitar 35 liter atau 1 : 8,6.

Prabowo menyimpulkan sementara ini, dilihat secara teknis, spesifikasi minyak jarak murni sudah bisa digunakan sebagai substitusi solar. Selain lebih hemat, yang perlu diingat jarak juga menghasilkan emisi dari tanaman. Artinya lebih ramah lingkungan dibandingkan emisi yang dikeluarkan solar. (Ninuk M Pambudy, kmb18)

Sumber: Harian Kompas, 12 Mei 2005, Harian Bali Post, 18 Juli 2006.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar